Laman

Sabtu, 11 November 2017

Pengantar Ilmu Filsafat

Pengertian Filsafat dan Ilmu

Daftar Isi
1. Kata Pengantar
2. Bab I
2.1. Pendahuluan
2.2.  Latar Belakang
2.3. Rumusan Masalah
2.4. Tujuan
3. Bab II
3.1.  Pengertian Filsafat dan Ilmu
3.2. Pengertian Filsafat Ilmu dan Filsafat Pengetahuan
3.3. Objek Kajian
3.4. Lingkup Kajian
4. Kesimpulan
5. Daftar Pusataka

Bab I

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Pemahaman akan ilmu tak akan pernah luput dan surut, seiring dengan era-era baru yang muncul seiring itu pula ilmu terus tumbuh subur. Sebagai dasar pengetahuan, tolok-ukur kehidupan, dan suatu langkah masa depan. Menggabung dengan awal dari pada ilmu itu sendiri, filsafat menghadirkan tahap padauan antara Filsafat dan Ilmu yang menjadikan ilmu pengetahuan itu sendiri menjadi objek kajiannya dengan sedalam penelitian yang dilakukan.
Dengan hadirnya makalah ini semoga menjadi satu jalan agar kegiatan keilmuan terus berlanjut. Sedemikian rupa kami coba dengan sebisa mungkin kami menelaah paham yang telah umum sebagai sajian pengantar yang akan kami jelaskan. Sempurna atau tidaknya tergantung pada penjelasan kami, mendapat respon sepakat bukanlah mudah, dengan demikian hadirnya makalah awal pelajaran ini semoga akan menjadi tonggak awal dan gerbang awal bagi pembahasan selanjutnya.

2. Rumusan Masalah

  1. Apa perbedaan filsafat dengan ilmu?
  2. Apa yang membedakan antara filsafat ilmu dengan filsafat pengetahuan (epistemology)?
  3. Apa saja objek dan lingkup kajian tersebut?

3. Tujuan

  1. Sebagai pendalaman awal akan kajian filsafat ilmu
  2. Sebagai tinjauan ulang suatu bidang keilmuan

Bab II

A. Pengertian Filsafat dan Ilmu

  1. Pengertian Filsafat
Kita mulai dengan sedikit menggali penjelasan tentang filsafat. Kami rasa terlalu sering kita membahas tentang pengertian filsafat dari segi etimologi, yang dimulai tentang upaya Socrates dalam memerangi kaum sophis sekelompok orang yang memiliki pengetahuan cukup luas tentang beberapa pengetahuan, piawai berargumentasi dalam sebuah perdebatan hingga mereka menjadi pelatih retorika pada saat itu untuk membuat sebuah kebenaran menjadi sebuah kebatilan dan sebaliknya, hingga tidak mereka sadari mereka juga ikut masuk kedalam permainannya dan terjebak dalam sebuah pengingkaran terhadap kebenaran dan realitas. Sikap mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka sandang dan mereka akui, mereka mengaku sebagai sekelompok orang yang bijaksana.
Socrates memulai upayanya dengan menamakan dirinya sebagai seorang philosophia  “pecinta kebijaksanaan” upayanya berlanjut dengan caranya yang sangat khas yaitu mencoba mencari kebenaran dengan cara terus mempertanyakan setiap jawaban yang telah ia terima dari lawan bicaranya. Ia sangat keritis, hingga dengan sendirinya lawan bicaranya pun menyadari kesalahannya dan menemukan sendiri kebenaran dari setiap pertanyaan yang dilontarkan Socrates dengan kritis. Dari kata phylo dan Sophia lah awal mula kemunculan kata filsafat.
Filsafat secara terminologilah yang mungkin sangat beragam pengertianya semua filosof memberikan makna, dan pemberian makna filsafat menjadi sebuah kesibukan tersendiri bagi para filosof. Memberikan makana dari segi tujuan atau dari segi objek yang dibahas. Para filosof muslim memberikan makna filsafat sebagai sebuah ilmu yang didalamnya membahas tentang wujud sebagaimana wujud itu sendiri atau wujud mutlak (sebagaimana adanya).
Lalu jika kita merujuk ke buku yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno di sana di jelaskan bahwa filsafat itu adalah sebuah ilmu kritis dan memberikan pengertian yang diambil dari tujuan filsafat menjadi beberapa pengertian sebagai berikut :
a. Filsafat sebagai Ilmu Kritis
Berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini telah membuktikan kemajuannya, segala kemajuannya telah membuat kita begitu kagum dengan perkembangan itu. Berbagai apresiasi telah mengalir dari berbagai pihak. Terutama pekembangan yang diperlihatkan oleh bidang-bidang ilmu pasti, seperti fisika, kimia, fisiologi, sosiologi, atau ekonomi. Bidang-bidang ilmu itu telah mampu mengungkap realitas dunia hingga kebagian terkecil atom dan sebagainya, menerbangkan manusia hingga keluar angkasa, memperlihatkan potret alam semesta yang begitu luas, mengatur tatanan hidup bersosial.
Namun sayang bidang ilmu-ilmu itu hanya terbatas pada wilayah cakupannya masing-masing, mereka membuat dan memiliki metode-metode khusus, mereka membatasi diri pada tujuan dan bidang tertentu untuk meneliti bidang masing-masing secara optimal. Dan oleh karena itulah mereka tidak memiliki sarana teoritis untuk ikut campur ataupun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diluar perspektif pendekatan khusus masing-masing.
Ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini memang telah mampu menenggelamkan manusia kedalam dunia, hingga manusia mampu mengetahui apa saja yang terdapat dalam dunia ini. Namun sayang semua itu tidak mengantarkan manusia pada sebuah jawaban atas pertanyaan mendasar hidup manusia, pertanyaan-pertanyaan yang selama ini telah menjadi pertanyan abadi yang dengan sendirinya telah ada dalam diri manusia, seperti : Apakah makna hidup ini? Apakah tujuan hidup ini? Bagaimana saya harus menjalani hidup agar saya menjadi seorang manusia yang baik ?. tidak ada disiplin ilmu yang mampu menjawab dan rela meneliti tentang beberapa pertanyaan-pertanyaan diatas, hanya sikap kritis yang muncul dari Socrates lah yang mampu menjawab pertanyaan seperti itu.
Jadi kami kira pengertian filsafat sebagai ilmu kritis lah yang saat ini cocok untuk kita pakai hingga nanti akan sesuai dengan pembahasan selanjutnya, dan pengertian ini setidaknya tidak jauh melenceng dari apa yang telah dilakukan Socrates selama ini sebagai seorang yang rela meminum racun karena sikap kritisnya, hanya untuk memberikan jalan untuk manusia agar manusia mampu menjawab dengan kesadaran diri sendiri atas pertanyaan-pertanyaan mendasar hidup.
Namun tidak hanya disana ternyata sikap kritis filsafat, karena tak sedikit para filosof juga yang menggunakan filsafat sebagai sebuah pisau analisa untuk mempertanyakan dan mengkritisi idiologi-idiologi yang telah mapan, mengkritisi tatanan sosial ataupun system kenegaraan, dan kepercayaan.
b. Filsafat Mencari Jawaban
Sikap kritis filsafat mungkin telah membuat sebuah pemikiran selalu di pertanyakan kembali, kritiikan menghampiri dari berbagai sisi, misalkan dari systememisasi penelitian, relefansi sebuah pemikiran dengan kenyataan, objek pemikiran yang terkadang dikeritisi dan dianggap tidak real. Sikap kritis itu memang telah membuka segala kesalahan yang mungkin terjadi namun terkadang semua itu dibiarkan begitu saja tanpa mampu filsafat sendiri memberikan jawaban yang memadai atas kritikannya. Seluruh bangunan pemikiran dibongkar dan di kritisi tanpa kita mampu lagi untuk membangun kembali pemikiran yang telah runtuh itu hanya akan menyebabkan kesia-siaan.
Filsafat harus bisa mengkritisi sebuah pemikiran secara radikal namun harus juga memberikan jawaban yang rasional juga. Dan yang membedakan antara jawaban yang sepontan dengan jawaban seorang filosof adalah seorang filosof dan filsafatnya harus mampu mempertanggung jawabkan jawaban yang ia argumenkan dengan rasionalisasi dan sistematisasi yang benar dan membuka diri atas kritikan yang akan muncul. Dan oleh karena itulah terkadang jawaban atas pembahasan filsafat tidak pernah berujung pada kebenaran yang mutlak, karena filsafat selalu membuka ruang yang luas untuk kritikan.
2. Pengertian Ilmu
Ilmu yang dipakai dalam bahasa Indonesia adalah akar kata dari kata bahasa arab ‘alima. namun terkadang pengertian yang di berikan berbeda. Ilmu menurut logika adalah hadirnya suatu gambaran kedalam akal atau benak kita, hingga nanti ilmu dibagi menjadi beberapa bagian menurut pandangan ini. Namun jika kita melihat kondisi dan perkembangan saat ini ilmu itu diartikan sinonim dengan kata science dalam bahasa inggris yaitu rangkaian sistematis sebuah proposisi yang membutuhkan pada sebuah eksperimen ilmiah dan memiliki nilai (aksiologi). dan juga ada yang mengartikan ilmu dengan pengertian yang sinonim dengan kata knowledge dalam bahasa inggris.
Berkaitan dengan pembahasan filsafat ilmu, kami kira pengertian yang sinonim dengan kata science lah yang tepat untuk di pakai, agar nanti sesuai dengan bahasan dalam filsafat ilmu ini. dengan beberapa pengertian diatas fikir kami itu telah sedikit memberikan sebuah gambaran untuk membedakan antara filsafat dan ilmu. Filsafat menurut kami dalam bahasan ini lebih diartikan sebagai sebuah alat untuk menganalisa atau mengkritisi sebuah sistematisasi ilmu lebih tepatnya sebagai pisau analisa. Dan ilmu lebih kami berikan pengertian sesuai dengan yang telah dibahas diatas.

3. Pengertian Filsafat Ilmu dan Filsafat Pengetahuan (Epistemologi)

  1. Pengertian Filsafat ilmu
Berdasarkan dari beberapa penjelasan yang telah kami jelaskan diatas kita sedikit lebih mengerti bahwa ilmu dalam disiplin filsafat ilmu itu berposisi sebagai objek dari kerja filsafat. Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap suatu disiplin ilmu. Filsafat ilmu adalah telaah lanjutan terhadap suatu bidang ilmu atau secondary reflexion. dengan mengalihkan perhatian dari objek-objek kajian suatu disiplin ilmu kepada sebuah kerja ilmiah suatu disiplin ilmu atau terhadap ilmu tersebut. Hingga menjadi jelaslah keterkaitan antara objek-objek kajian dengan metode-metode, antara masalah-masalah yang akan dipecahkan dengan tujuan kerja ilmiah, lalu jelas juga antara pendekatan secara ilmiah dan pengolahan bahan-bahan secara ilmiah.
Dalam filsafat ilmu ini kita mencoba menerapkan kefilsafatan dalam kegiatan ilmiah, para penyelenggara kegiatan keilmuan setidaknya bisa mengetahui lebih jelas lagi apakah anggapan dia terhadap sebuah kebenaran kegiatan keilmuan itu memang benar sesuai dengan kebenaran setelah diterpkan kefilsafatan dalam ilmu itu.  Lalu perbedaan yang dapat kita lihat dari filsafat ilmu dengan sejarah ilmu, fisikologi ilmu, dan sosiologi ilmu yaitu terletak pada objek yang hendak dipecahkan serta metode yang digunakan. Filsafat ilmu tidak berhenti pada pertanyaan bagaimana perkembangan ilmu pada saat ini atau dan bagaimana cara penyelenggaraannya, namun filsafat ilmu mempertenyakan masalah metodologik yaitu azas-azas apakah yang mampu menyebabkan ilmu telah memperoleh pengetahuan ilmiah.
Untuk menjawab pertanyaan itu tidak mungkin dilakukan oleh bidang ilmu tersebut namun membutuhkan kefilsafatan yang kritis dan jujur. Namun sebaliknya sang filoso ilmu harus menguasai filsafat sekaligus ilmu itu sendiri. Titik tolak yang digunakan bukan hasil dari refleksi sedehana terhadap skematik ilmu namun harus benar-benar bertitik tolak atas penyelenggaraan ilmu itu sendiri. Pertalian antara filsafat dan ilmu harus benar-benar menjelma pada sang filosof ilmu.
Dalam filsafat ilmu akan dibahas masalah persoalan epistemologi yang berkaitan dengan penyelenggaraan sebuah kegiatan ilmiah dan keabsahan simbol-simbol yang di pakai dalam suatu pembahasan keilmuan baik ilmu empirik, ilmu rasional, dan juga bidang ilmu etika dan estetika, kesejarahan, lalu dalam filsafat ilmu juga akan di bahas mengenai nilai konsekuensi pragmatik suatu ilmu terhadap realitas, mengkritisi masalah keempirisan suatu bidan ilmu empiris maupun kerasionalan.
Pengertian Filsafat pengetahuan
Filsafat pengetahuan atau epistemologi ini terlihat samar sama dengan filsafat ilmu. Jika kita tidak memperhatikan terlebih dahulu terhadap pengertian atas dua kata antara ilmu dan pengetahuan. Pengertian ilmu mungkin telah di jelaskan diatas, namun beralih pada pengertian pengetahuan susah rasanya untuk mendefinisikan filsafat karena ketika kita bertanya tentang Apakah pengetahuan itu? Itu sendiri telah menunjukan sebuah kegiatan pengetahuan, itu memperlihatkan upaya mengetahui. Maka dari itu sebenarnya pengetahuan merupakan sebuah keba’dihian bagi manusia. Jika saja kita mencoba untuk mendefinisikan pengetahuan maka kita akan berputar-putar pada kata itu.
Filsafat pengetahuan atau epistemology ini adalah salah satu bagian yang terdapat dalam filsafat selain ontology dan aksiologi. Namun sebenarnya epistemology sendiri muncul baru-baru saat ini, meskipun sebenarnya persoalanya muncul sudah sejak lama. Karena pada zaman filosof-filosof seperti Mulla sadra ataupun Aristoteles epistemologi masih merupakan bagian dari pembahasan ontologi.
Epistemologi merupakan suatu awal mula perjalanan dari sebuah petualangan kefilsafatan karena epistemologi lah yang akan memberika berbagai petunjuk untuk kita bisa masuk dalam filsafat. Atau mungkin juga epistemology tidak hanya berpengaruh dan bermanfaat bagi filsafat namun juga berpengaruh terhadap perjalanan hidup seorang manusia karena epistemologi merupakan world view atau pandangan hidup bagi seorang manusia, karena pandangan hidup akan mempengaruhi terhadap idiologi seseorang dalam melakukan perbuatan. Mungkin karena alasan ini pula seorang ilmuwan sekaligus revolusioner Iran Murtadha Muthahhari sangat menekankan terhadap pembelajaran epistemologi ini, karena dunia sekarang sedang dilanda oleh pendangan dunia yang materialis, hingga tolok-ukur sebuah kebenaran pun di tanggalkan pada materi. Padahal pada kenyataannya kita memiliki sebuah fitrah ataupun suatu keyekinan yang selalu mengharapkan kebahagyaan yang tak terhingga, sedangkan materi ternatas.
Dalam epistemologi akan dibahas tentang beberapa hal, mengenai apa sebenarnya pengetahuan itu lalu dengan apakah kita akan memiliki atau mendapatkan pengetahuan, alat apa saja yang bisa kita gunakan untuk kita mendapatkan pengetahuan, adakah sumber ataupun objek untuk kita mengetahui dan mendapatkan pengetahuan.
Dalam epistemologi para filosof mempertanyakan kembali bagaimana peroses mengetahui yang bisa mengantarkan pada sebuah kebenaran hakiki. Seperti yang telah dilakukan oleh Rene Descartes, filosof ini begitu kritis hingga berbagai pengetahuan yang ia miliki semenjak kecil ia hancurkan. Decart meragukan segalahal yang telah ia ketahui hingga akhirnya ia sampai pada sebuah kesimpulan yang beranggapa “jika aku berpikir maka aku ada”. Ataupun pyrlo yang begitu sekeptis terhadap berbagai pengetahuan.
Filsafat pengetahuan ataupun epistemologi adalah sebuah telaah kritis terhadap pengetahuan segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan akan di bongkar dan di pertanyakan kembali. Berbagai intrumen seperti indra, akal, dan sebagainya akan di telaah kembali apakah sebenarnya yang mampu diketahui oleh berbagai instrument tadi. Apakah sesuatu yang non materi akan mampu di ketahui oleh instrument indra, jika tidak maka tidak mungkin kita akan menemukan pengetahuan tentang yang non materi hanya dengan menggunakan indra dan kita pun tidak bisa menolak ketidak beradaan sesuatu yang non materi karena kita sendiri tidak pernah mampu menggapai realitas itu dengan indra ini. Dalam peroses mengetahui sendiri instrument indra tidak mungkin akan mampu menggapai sebuah pengetahuan jika hanya bersandar pada instrument itu, karena alat itu hanya sebagai sebuah pengambil gambaran atau informasi namun pengolahan data di lakukan oleh akal.
Telaah kritis pada pengetahuan ini telah mengantarkan berbagai aliran filsafat pada jalannya masing-masing dan pada idiologinya masing-masing.

3.      Objek Kajian

A. Objek Kajian Filsafat Ilmu
Umumnya objek kajian ini dibagi menjadi dua objek, yaitu: objek material dan objek formal. Yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Objek Material Filsafat Ilmu
Sebagai sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu adalah konsep dari pada filsafat ilmu sebagai objek tersebut.  Dengan langkah material ini menerangkan bahwa filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
2. Objek Formal Filsafat Ilmu
Objek formal adalah suatu pandang dimana sang subjek menelaah objek materialnya. Setiap ilmu pasti berbeda dalam objek formalnya. Objek formal filsafat ilmu adalah esensi pengetahuan itu sendiri, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian kepada problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi ilmu pengetahuan itu bagi manusia? Problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epitemologis, dan aksiologis.[1]
Landasan ontologis pengembangan ilmu, artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang ilmuan. Sikap atau pendirian filosofis secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua mainstream, aliran besar yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu materialisme dan spiritualisme. Materialisme adalah suatu pandangan metafisik yang menganggap bahwa tidak ada hal yang nyata selain materi. Spritualisme adalah suatu pandangan metafisika yang menganggap kenyataan yang terdalam adalah roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam.
Pengembangan ilmu berdasarkan pada materialisme cenderung pada ilmu-ilmu kealaman dan menganggap bidang ilmunya sebagai induk bagi pengembangan ilmu-ilmu lain. Dalam perkembangan ilmu modern, aliran ini disuarakan oleh positivism, sedangkan spiritualisme cenderung pada ilmu-ilmu kerohanian dan menganggap bidang ilmunya sebagai wadah utama bagi titik tolak pengembangan bidang-bidang ilmu lain.
Jadi, landasan ontologis ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuan terhadap realitas. Manakala realitas yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada ilmu empiris. Manakala realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, lebih terarah pada ilmu-ilmu humaniora.
Landasan epistemologi pengembangan ilmu, artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran. Dalam hal ini yang dimaksud adalah metode ilmiah. Metode ilmiah secara garis besar dibedakan kepada dua kelompok, yaitu siklus empiris untuk ilmu-ilmu kealaman dan metode linier untuk ilmu-ilmu social-humaniora. Cara kerja metode siklus empiris meliputi observasi, penerapan metode induksi, melakukan eksperimentasi (percobaan), verifikasi atau pengujian ulang terhadap hipotesis yang diajukan, sehingga melahirkan sebuah teori. Adapun cara kerja metode linier meliputi langkah-langkah antara lain persepsi, yaitu penangkapan indrawi terhadap realitas yang diamati, kemudian disusun sebuah pengertian (kosepsi), akhirnya dilakukan prediksi atau peramalan tentang kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
Landasan aksiologis pengembangan ilmu merupakan sikap etis yang harus dikembangkan oleh seorang ilmuan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Dengan demikian, suatau aktivitas ilmiah senantiasa dikaitkan dengan kepercayaan, ideology yang dianut oleh masyarakat atau bangsa, tempat ilmu itu dikembangkan.
B. Objek Kajian Epistemik (Filsafat Pengetahuan)
Miran Epstein mengelompokan kemungkinan objek-objek epistem. Ada tiga posisi utama dalam kajian epistemologi yang ia bagi, yaitu: Empiris, Rasionalis, dan Transendental.
1. Empiris
Philosophers who subscribe to empiricism regard any object as a distinct class of observable phenomena.
( Filsuf yang berpaham empiris menganggap setiap objek sebagai suatu golangan yang nyata dari fenomena yang dapat diselidiki.)
2. Rasionalis
Rationalists regard reason as the active producer of concepts ex nihilo (out of nothing). They maintain that concrete objects are deduced from the general concepts that describe them, deduc-tionbeing the logical process of drawing specific conclusions from generalisations.
( Rasionalis menganggap pemikiran sebagai produser aktif yang mengkonsep ex nihilo (out of nothing). Mereka bersikukuh bahwa objek konkret adalah penarikan kesimpulan dari konsep umum yang mereka gambarkan, penarikan ini menjadi proses logis dalam menarik intisari umum tersebut.)
3. Transendental
Transcendentalists argue that concepts are formed in our consciousness through a senses-mediated interaction between previously existing empty templates of reason (also called ‘transcendental/a priori categories’) and some unintelligible raw material of the external reality (also called ‘the thing in itself’). The interaction is dialectically constructive, meaning that the templates of reason and the sense data transform and retransform each other reciprocally ad infinitum. In short, the transcendental mechanism of this interaction produces perpetually evolving concepts and objects. Contrary to what both empiricism and rationalism imply, concepts and objects are therefore not fixed. The history of science bears this out, showing that almost all the concepts and objects of science have changed over the years: how scientists think, and what they think about, has never been fixed for all time.[2]
( orang-orang transendentalis berpendapat bahwa konsep dibentuk dari kesadaran melalui indra- ditengahi interaksi antara keberadaan akal kosong yang lalu (disebut juga dengan ‘transendental/ kategori a priori’) dan sebagian material kasar yang tak jelas dari realitas eksternal (disebut juga dengan ‘the thing in itself’). Interaksi adalah dengan dialektika yang membangun, dalam artian bahwa bentuk pemikiran dan data indra berubah dan merubah kembali satu dengan yang lainnya dengan timbal balik yang terus-menerus. Dengan kata lain, mekanisme transendental dari interaksi ini menghasilkan kekekalan perubahan konsep dan objek. Berlawanan dengan empirisme dan rasionalisme sepenuhnya, oleh karena itu konsep dan objek tidak terselesaikan. Sejarah ilmu pendetahuan bersaksi atas  semua ini, memperlihatkan bahwa hampir semua konsep dan objek ilmu itu berganti setiap tahunnya: bagaimana ilmuan berpikir, dan apa yang mereka pikirkan, tak pernah terselesaikan.

4.      Lingkup Kajian

A. Lingkup Kajian Filsafat ilmu
Filsafat ilmu telah berkembang pesat seehingga menjadi suatu bidang pengetahuan yang amat luas dan sangat mendalam. Lingkup filsafat ilmu dari para filsuf dapat dijelaskan sebagaimana dikemukakan The Liang Gie (2000) sebagai berikut.
1. Peter  Angeles
Menurut filsuf ini, filsafat ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi yang utama:
  • Telaah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan metode ilmu, berikut analisis, perluasan, dan penyusunan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat.
  • Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut struktur perlambangannya.
  • Telaah mengenai saling kaitan di antara berbagai ilmu.
  • Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan penyerapan dan pemahaman manusia terhadap realitas, sumber dan keabsahan realitas, entitas teoretis, sumber dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan.
2. Cornelius Benjamin
Filsuf ini membagi pokok soal filsafat ilmu dalam tiga bidang berikut.
  • Telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah, dan struktur logis dari sistem perlambangan ilmiah. Telaah ini banyak menyangkut logika dan teori pengetahuan, dan teori umum tentang tanda.
  • Penjelasan mengenai konsep dasar, pranggapan, dan pangkal pendirian ilmu, berikut landasan-landasan empiris, rasional, atau pragmatis yang menjadi tepat tumpuannya. Segi ini dalam banyak hal berkaitan dengan metafisika, karena mencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai dunia kenyataan, keseragaman alam, dan rasionalitas dari proses alamiah.
  • Aneka telaah mengenai saling kait diantara beragai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta seperti misalnya idealism, materialism, monism, atau pluralism.
3. Marx Wartofsky
Menurut filsuf ini rentangan luas dari soal-soal interdisipliner dalam filsafat ilmu meliputi:
  • Perenungan mengenai konsep dasar, struktur formal, dan metodologi ilmu;
  • persoalan-persoalan ontology dan epistemologi yang khas bersifat filsafati dangan pembahasan yang memadukan peralatan analitis dari logika modern dan model konseptual dari penyelidikan ilmiah.
4. Ernest Nagel
Dan hasil penyelidikan filsuf ini menyimpulkan bahwa filsafat ilmu mencakup tiga bidang luas:
  • Pola logis yang ditunjukan oleh penjelasan ilmu;
  • Pembuktian konsep ilmiah;
  • Pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah.[3]

Kesimpulan

  • Ilmu dan filsafat jelas membdakan diri masing-masing, baik yang disebut Ilmu Filsafat atau pun Filsafat ilmu. Namun dari keduanya memiliki kaitan yang akrab.
  • Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara Filsafat Ilmu dan Filsafat Pengetahuan atau modern ini sering disebut sebagai Epitemologi yang selalu berkaitan dengan bagaimana pembenaran itu menjadi benar-benar benar atau tidak disalah artikan.
  • Dalam objek kajian filsafat ilmu kita akan menemukan dua bagian umum untuk objeknya, yaitu: Objek Material dan Objek Formal. Objek Formal membuahkan landasan ilmu pengetahuan, antara lain, landasan Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologi.
  • Ontologis membagi dua mainstream yang keduanya memiliki pengaruh dalam keilmuan; yaitu, Materialisme dan Spiritualisme.
  • Epistemologi dalam bagian Objek Formal membagi dua metode, pertama, Metode Siklus Empiris dan yang kedua, Metode Linier.
  • Lingkup Kajian yang digambarkan banyak oleh para filsuf diatas menggambarkan ilmu tidak akan selesai dalam kajian walaupun hanya satu bidang yang dikaji, karena pendapat adalah tinjauan penting dan yang akan membuka jalan awal bagi penelitian.

Daftar Pustaka

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).
Muthahhari, Murtadha, Pengantar Epitemologi Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2010).
Suseno M, Franz, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Penerbit Kansius, 2010).
Gharawiyan, Mohsen, Pengantar Memahami Buku Daras: Filsafat Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2012).
Beerling dkk, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003).
Epstein, Miran, Introdution to The Philosophy of Science, Artikel, 2011.

[1] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) cet. II, hal. 47-48
[2] Epstain, Miran, Introduction to The Philosophy of Science, An Article: 2011 hal. 10-11
[3] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008)cet. II, hal. 49- 50